بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Ehem..
Diam tak diam, Kini kita telah berada di hari yang ketiga belas dari bulan Syawal.
Artinya, dua pekan kita telah meninggalkan Ramadhan. Bulan yang penuh
dengan keutamaan. Bulan yang sangat istimewa. Bulan yang di dalamnya ada
malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan dilipatgandakannya
pahala. Bulan yang secara khusus diwajibkan puasa di siang harinya.
Dikala sibuk beraya, sibuk bertandang rakan taulan memenuhkan segala ruang yang ada, tidak adakah terdetik pertanyaan? Pertanyaan, sudah berhasilkah puasa Ramadhan kita? Tidak ada jaminan
bahwa puasa kita berhasil dan diterima Allah. Karenanya para ulama salaf
sangat sedih ditinggal Ramadhan dan mereka dengan sungguh-sungguh
berdoa, bahkan selama enam bulan, agar amal Ramadhannya diterima.
Wahai Rabb kami... terimalah puasa kami, shalat kami, ruku' kami,
sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui
Tidak ada jaminan bahwa puasa kita berhasil. Tetapi kita bisa melihat
bahwa suatu pekerjaan dikatakan berhasil bila ia mampu mencapai
tujuannya. Adapun tujuan puasa, insya Allah kita semua hafal ayatnya.
Ayat yang kita dengarkan hampir setiap hari di bulan Ramadhan. Kita
mendengarnya dari para khatib, dai, muballigh, baik secara langsung atau
melalui media.
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian,
agar kalian bertaqwa (QS. Al Baqarah : 183)
Itulah tujuan puasa. "La'alakum tattaquun." Agar kalian bertaqwa. Agar
kita bertaqwa. Maka, jika selepas Ramadhan kita menjadi bertaqwa atau
lebih dekat dengan taqwa dari bulan-bulan sebelumnya, dari tahun
sebelumnya, insya Allah puasa kita berhasil. Dan seharusnya itulah yang
terjadi pada kita di bulan Syawal yang artinya tidak lain adalah
peningkatan. Namun jika kita semakin jauh dari taqwa, khawatirlah bahwa
puasa kita sia-sia, tidak berhasil, tidak membawa apa-apa kecuali lapar
saja.
Rasulullah SAW bersabda :
Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa-apa baginya kecuali rasa lapar. (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
Tetapi, Bagaimana mahu mengukur ketaqwaan kita yang merupakan buah dari puasa
Ramadhan?
Taqwa secara umum berarti menjalankan semua perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya. Definisi itu sering diulang-ulang oleh
khatib Jum'at sehingga kita hafal di luar kepala. Sebuah pengertian yang
mudah dihafal, tetapi amat luas dan berat dikerjakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan karakter orang yang bertaqwa dalam
banyak ayatNya. Karakter-karakter itu memudahkan kita untuk
mengevaluasi diri kita apakah kita sudah bertaqwa, atau sudah lebih
dekat dengan taqwa. Dengan demikian, karakter-karakter itu juga
memudahkan kita untuk mengevaluasi apakah Ramadhan kita telah berhasil
atau belum.
Diantara karakter orang yang bertaqwa itu, Allah memfirmankannya dalam
QS. Ali Imran ayat 133-135. Di situ Allah Azza wa Jalla menunjukkan
empat karakter orang yang bertaqwa.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan, dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan
keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon
ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 133-135)
Inilah empat karakter orang yang bertaqwa. Pertama, يُنْفِقُونَ فِي
السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ "berinfaq baik dalam kondisi lapang maupun
sempit."
Orang yang bertaqwa itu suka berinfaq, suka bersedekah, baik dalam
kondisi lapang maupun sempit. Dalam kondisi kaya atau dalam kondisi
belum kaya. Baik tanggal muda maupun tangga tua. Karakter itulah yang
dengan mudah kita dapatkan pada generasi sahabat Nabi. Generasi yang
paling bertaqwa dari umat ini.
Menjelang perang Tabuk, para sahabat berbondong-bondong untuk berinfak.
Yang kaya infak, banyak. Yang miskin juga berinfak, sesuai kemampuan
mereka. Umar datang kepada Nabi untuk menginfakkan separuh hartanya. Abu
Bakar bahkan menginfakkan seluruh hartanya. Melihat kedermawanan Abu
Bakar, Umar mengomentari, "Sungguh, aku tidak pernah bisa melebihi
kebaikan Abu Bakar."
Begitu banyak kisah-kisah kedermawanan para sahabat dan kegemaran mereka
dalam berinfak. Baik mereka yang kaya atau yang miskin. Baik mereka
yang sedang dalam kondisi lapang atau sempit. Suatu malam, ada tamu Nabi
yang singgah di rumah Abu Thalhah. Saat itu sebenarnya Abu Thalhah
dalam kondisi sempit, sangat sempit. Bahkan ia tidak memiliki makanan di
malam itu kecuali untuk anaknya. Namun kegemarannya berinfak membuat ia
dan istrinya Ummu Sulaim membujuk anak-anaknya agar tidur tanpa makan
malam. Sedangkan makanan itu disuguhkan kepada sang tamu. Ketika makanan
dihidangkan, lampu dimatikan dan Abu Thalhah pura-pura makan padahal ia
tak lagi memiliki makanan. Sang tamu makan hingga selesai, sedangkan
Abu Thalhah menemaninya tanpa diketahui tamunya bahwa ia tidak makan
apa-apa.
Maka para sahabat Nabi, sebagaimana juga orang-orang yang gemar
berinfak, hidupnya diberkahi Allah. Dimudahkan Allah. Tidak ada
ceritanya orang yang miskin gara-gara sedekah. Meskipun Umar bin Khatab
menyedekahkan separuh hartanya dan Abu Bakar menyedekahkan seluruh
hartanya, tidak ada ceritanya kemudian Umar dan Abu Bakar bangkrut
gara-gara itu. Sedekah dibalas Allah 10 hingga 700 kali lipat, dan
sering kali itu juga dibalas di dunia ini. Maka sedekah membuat harta
berlimpah dan berkah, jiwa tenang, bahaya dan penyakit serta berbagai
madharat terhindarkan.
Betapa banyaknya orang yang mengatakan, saya sedekah kalau nanti sudah
kaya. Saya berinfak nanti kalau sudah banyak harta. Orang yang bertaqwa
tidak mengatakan itu. Orang yang bertaqwa gemar bersedekah baik di waktu
lapang maupun di waktu sempit. Jangan menunggu kaya untuk bersedekah,
tetapi bersedekahlah sekarang maka kita akan kaya.
Jika selepas Ramadhan, kita menjadi gemar berinfak maka itu adalah tanda
bahwa puasa kita berhasil, insya Allah. Jika di bulan Syawal dan
bulan-bulan berikutnya kita menjadi suka bersedekah, insya Allah itu
adalah tanda bahwa kita lebih dekat dengan taqwa, tanda berhasilnya
puasa kita.
Karakter kedua orang yang bertaqwa adalah, وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ "menahan marah"
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur'an dijelaskan bahwa marah adalah
perasaan manusiawi yang diiringi dengan naiknya tekanan darah. Manusia
tidak dapat menundukkan kemarahan ini kecuali dengan perasaan halus dan
lembut yang bersumber dari pancaran taqwa, dan dengan kekuatan ruhiyah
yang bersumber dari pandangannya kepada ufuk lebih luas daripada ufuk
dirinya dan cakrawala kebutuhannya.
Menahan marah artinya tidak menuruti kemarahan ketika emosi itu muncul
atau tersulut. Marah, apalagi tanpa alasan jelas, membuat pikiran
tertutup kabut emosi, kebijaksanaan hilang, terburu-buru dan minim
kontrol. Karenanya betapa banyak orang yang hancur gara-gara tidak mampu
menahan marah. Suami yang menuruti kemarahan kepada istri bahkan karena
masalah sepele membuat rumah tangga berantakan hingga timbul
perceraian, karena ia marah lalu terucap talak tanpa pikir panjang.
Setelah berlalu masa iddah barulah ia menyesal telah menceraikan
istrinya, hidupnya kacau dan jadilah ia orang yang paling lemah.
Seorang atasan yang tak mampu menahan marah, ia suka tersulut emosi dan
membuat keputusan yang menzalimi anak buahnya. Seorang pemimpin yang
suka marah, ia juga bisa menzalimi orang yang dipimpinnya dan membawa
kerugian dan kehancuran bagi institusi, perusahaan, daerah atau bahkan
negara yang dipimpinnya. Orang yang tidak mampu menahan marah
sesungguhnya adalah orang yang lemah. Dan sebaliknya, orang yang mampu
menahan marah sesungguhnya adalah orang yang kuat, bahkan paling kuat.
Rasulullah SAW bersabda,
Orang yang kuat itu bukanlah orang yang jago gulat, tetapi orang yang
kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika sedang marah (HR. Bukhari dan Muslim)
Puasa Ramadhan satu bulan lamanya mendidik kita untuk mengendalikan
emosi. Rasulullah memerintahkan jika ada orang yang menyulut emosi atau
mengajak kita berkelahi agar kita menjawabnya dengan tenang "inni
shaaimun: sesungguhnya aku sedang berpuasa."
Maka jika selepas Ramadhan kita kini lebih mudah menahan marah, lebih
mudah mengendalikan emosi, insya Allah itu adalah tanda keberhasilan
puasa kita sekaligus tanda dekatnya kita dengan predikat taqwa. Lihatlah
Rasulullah yang tidak pernah marah karena masalah pribadi. Diludahi
orang sewaktu di Makkah, beliau tidak marah. Dilempari batu ketika
beliau berdakwah di Thaif, beliau tidak marah, malah mendoakan mereka.
Apalagi kehidupan beliau bersama istrinya, jauh dari marah. Pernah suatu
malam beliau pulang kemalaman karena dakwah, Aisyah sudah tertidur dan
pintu rumah sudah dikunci. Beliau salam tiga kali istrinya tidak dengar,
maka beliau pun tidur di luar. Beliau tidak marah, bahkan ketika Aisyah
bangun dan membukakan pintu di sepertiga malam terakhir, Rasulullah
lebih dulu meminta maaf.
Karakter ketiga orang yang bertaqwa adalah, وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ "memaafkan manusia"
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur'an, menahan
marah adalah fase pertama, dan itu tidak cukup. Ia harus diiringi dengan
memberikan maaf. Karena ada kalanya orang tidak menampakkan kemarahan
tetapi ia memendam benci dan dendam. Kemarahan yang disimpan itu
menyakitkan hati dan menghanguskan jiwa, tetapi dengan memaafkan maka
lepaslah ia dari sakit hati dan seketika jiwanya menjadi lapang dan
damai, meninggi ke langit suci.
Menjadi momentum yang tepat bahwa selepas Ramadhan kita saling
memaafkan. Halal bi halal, meskipun istilahnya diambil dari bahasa Arab,
tidak dikenal di dunia Arab. Tetapi bukan berarti itu terlarang. Justru
dengan budaya halal bi halal ada sarana bagi kita untuk saling
memaafkan. Meskipun demikian, memaafkan tidak hanya di bulan Syawal
saja.
Orang yang bertaqwa itu suka memaafkan orang lain. Maka untuk mengetahui
apakah puasa Ramadhan kita berhasil atau tidak salah satunya adalah
melihat ini: apakah kita sudah memaafkan orang lain? Apakah kita suka
memaafkan orang lain? Apalagi jika orang itu adalah istri kita, orang
tua kita, anak-anak kita, keluaraga dan saudara kita, atau teman-teman
kita.
Karakter ketiga orang yang bertaqwa disebutkan Allah di ayat 135.
dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran : 133-135)
Orang yang bertaqwa itu segera bertaubat kepada Allah jika ia melakukan
kesalahan atau kemaksiatan. Ia segera menyadari kesalahannya, ingat
Allah, memohon ampun dan tidak meneruskan kesalahannya.
"Faahisyah" yang diterjemahkan dengan perbuatan keji dalam ayat tersebut
adalah perbuatan dosa yang besar dan sangat buruk. Namun begitu
besarnya rahmat Allah, sehingga meskipun hambaNya berbuat dosa besar dan
sangat buruk, ia bisa menjadi muttaqin asalkan bertaubat kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Dan dosa besar itu tidak menutupnya dari peluang
taqwa asalkan ia bertaubat.
Maka mengukur ketaqwaan kita, mengukur keberhasilan puasa kita salah
satu indikatornya adalah apakah kita suka bertaubat atau tidak. Jika
kita melakukan kesalahan segera bertaubat dengan menyadari kesalahan
itu, mengingat Allah dan memohon ampunan-Nya serta tidak meneruskan
kesalahan itu, insya Allah puasa kita berhasil dan kita lebih dekat
dengan taqwa. Tetapi jika kita sadar dengan dosa dan kemaksiatan yang
kita lakukan tetapi menunda-nunda taubat, meneruskan menikmati maksiat,
maka itu berarti kita jauh dari taqwa dan khawatirlah bahwa puasa
Ramadhan kita tidak mendapatkan hasil apa-apa kecuali lapar saja. Waallahu'Alam